Senin, 19 Maret 2012

Tulisan 2

Nama: Togar Kusuma
NPM: 26210922
Kelas: 2EB22

Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian di Indonesia

Dalam Undang-undang Dasar 1945 dan KUH Perdata Indonesia dan perundang-undangan lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan tentang berlakunya asas kebebasan berkontrak bagi perjanjian-perjanjian yang dibuat menurut hukum Indonesia. Ada faham yang tidak setuju kebebasan berkontrak ini diletakkan sebagai asas utama Hukum Perjanjian, tetapi menurut pendapat Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman: asas kebebasan berkontrak tetap perlu dipertahankan sebagai asas utama di dalam Hukum Perjanjian Nasional. Dalam Hukum Perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, yang mampu memelihara keseimbangan perlu tetap dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu, sehingga dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Prof. Mr. Soepomo telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam hal peletak dasar terhadap hubungan individu dan masyarakat di Indonesia, dalam pidato inaugurasinya di Fakultas Hukum Jakarta tahun 1941 dapat disimpulkan beberapa ciri perbandingan tentang kedudukan individu dalam masyarakat di Indonesia dan Dunia Barat, sebagai berikut: “di Indonesia, yang primair adalah masyarakat, individu terikat dalam masyarakat. Hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang selaras, serasi, dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Di Barat, yang primair adalah individu, individu terlepas dari masyarakat, hukum bertujuan mencapai kepentingan individu”. Menurut sejarah, Pasal 1338 KUH Perdata yang dijadikan dasar berlakunya asas kebebasan berkontrak di Indonesia, berpijak pada revolusi Perancis, bahwa individu sebagai sumber kesejahteraan dan kehendak individu sebagai dasar kekuasaan melahirkan sistem individualisme dan kapitalisme. Pada akhir abad XIX, akibat desakan faham-faham etis dan sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya perang dunia kedua, faham ini dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan, oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan isi perjanjian tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi oleh pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum, menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum perjanjian oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum perjanjian ke bidang Hukum Publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan (vermaatschappelijking) Hukum Perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam Pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 KUH Perdata itu sendiri juga menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam hal suatu kontrak ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum. Secara historis kebebasan berkontrak mengandung makna adanya 5 (lima) macam kebebasan], yaitu: 1. Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak; 2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; 3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak; 4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak; 5. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it).

Menurut hukum perjanjian Indonesia, seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap (voidable).Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam KUH Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.

Pasal 1320 ayat
(1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dalam Pasal 1320 ayat
(2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Pasal 1320 ayat
(3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan, apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Lebih lanjut dalam Pasal 1332 menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila prestasi samar (kabur) atau dirasakan kurang jelas yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka obyek perjanjian dianggap tidak ada (null) dan akibat hukumnya perjanjian tersebut batal demi hukum. Pasal 1320 ayat
(4) jo. Pasal 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang. Kausa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum atas perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik, perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan. Akibat hukum atas perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan. Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak, Prof. Asikin Kusuma Atmadja menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan, karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Prof. Asikin lebih lanjut mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendak untuk memberikan persetujuan, hal ini dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang yang merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui yurisprudensi. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak, sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat). Di sini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang. Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan, umpamanya terdapat syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan. Demikian halnya apabila ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), juga apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan. Dari telaahan tersebut di atas, tampak jelas bahwa hubungan antara asas kebebasan berkontrak yang berlaku di Indonesia dengan segala pembatasannya adalah sesuai dan sejalan dengan kebebasan berkontrak yang dikemukakan oleh beberapa tokoh mazhab hukum alam (Hugo de Groot, Thomas Hobbes, maupun Immanuel Kant) yang sangat menjunjung tinggi moralitas dan keadilan, hal ini tercermin dari adanya keharusan kepada para pihak untuk tidak menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Selain itu juga adalah tetap diperlukannya peranserta pemerintah untuk mengusahakan terjadinya keseimbangan dan keselarasan demi tercapainya keadilan bagi kepentingan pihak-pihak yang membuat perjanjian itu sendiri.

referensi
http://siddiq87.wordpress.com/2010/01/20/15/
http://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/01/19680/mempertanyakan_asas_kebebasan_berkontrak_masih_relevankah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar